Mata Bintang

Matanya coklat, alisnya tebal, bibirnya sewarna tomat masak. Sayang kulit yang seharusnya putih bersih itu terkontaminasi ultraviolet siang hari. Dia mengangsurkan amplop putih kecil yang lusuh. Lalu bernyanyi tanpa melodi yang pas. Suaranya kecil, kata-katanya tak sempurna, matanya tak mengekspresikan apa-apa.

Lagu tanpa judul itu selesai pada titik yang tak seharusnya. Lantas dia menujuku, meminta kembali amplop putih itu. Aku menahannya di udara, lalu bertanya ; “Kamu kelas berapa ?” Dia memandangku ragu. Aku bisa mengenali sorot jenius yang tinggal di matanya. “Saya kelas bawah.” Jawabnya lugu. Amplop masih di tanganku, dia masih menunggu. “Kelas satu ? Kelas dua ?” Aku menebak umurnya, mungkin enam atau tujuh tahun.

“Saya kelas bawah, Bu. Kelas bawah tak bisa sekolah. Bagaimana mungkin kelas bawah bisa membayar biaya sekolah ?”

Dia memandangku serius. Sorot jenius itu seperti pisau tumpul yang tak terasah, menggerakkan bola matanya dengan gelisah. Menikamku dan meninggalkan perih yang tak kutahu. Aku pun menyerah. Oh ya, mengapa aku harus heran. Di kota ini ada berbagai jenis manusia hidup. Kesemuanya mencoba bertahan hidup. Termasuk anak seusianya, yang mungkin saja bisa menjadi anak didik Profesor Yohanes Surya, tetapi malah terpaksa menjadi pengamen dini.

Akhirnya amplop kuberikan. Tak tahu apa yang bisa kuharapkan dari amplop dan isinya itu yang bahkan takkan bisa membelikannya sebuah identitas. Identitas yang dicatat di buku absen sebuah kelas. Kelas dimana seharusnya dia berada kini.

Dia pun pergi dari hadapanku, seorang ibu di kejauhan menyambutnya. Menagih amplop-amplop yang ada di tangannya lalu memasukkan semua isinya di kantong bajunya sendiri. Setelah mengosongkan semua amplop itu, sang ibu melambaikan tangannya, menyuruhnya berlalu seperti mengusir seorang anak ayam. Sementara itu, aku meraba perutku berharap mendapatkan anugrah sepertinya, gadis kecil bermata bintang itu.

130 Comments

  1. Potret masyarakat yg tersisihkan dan terbuang, diantara kilauan gedung2 mewah serta gemerincing perhiasan kota.. Hmmm..tulisannya sangat sarat dgn cinta dan kasih sayang… Aku suka banget dgn tema2 semacam ini.. Realistis dan nyata.. Trims utk cerita indahnya..

  2. wah, masih banyak generasi penerus bangsa yang cemerlang, semoga saja yang sekarang secermelang para ilmuwan, yang akan membangkitkan Indonesia dengan peradaban yang lebih maju.

  3. cerita yang memilukan, semoga bangsa kita cepat bangkit dari keterpurukan sehingga kita tak lagi melihat dan mendengar kisah seperti di atas

  4. menurut saya, jawaban anak bermata bintang itu sungguh jenius. saya jd ingat buku “orang miskin dilarang sekolah” karya eko prasetyo. **kapitalisme pendidikan telah menimbulkan sisi buram dunia pendidikan. masalah biaya yang mahal, salah satunya yg menyebabkan orang miskin kesulitan menyekolahkan anak-anaknya.

  5. Met mlm,

    Membaca posting ini, rasa iba dan kecewa berkecamuk. Iba melihat hidup model anak itu. Kecewa, karena sy dan kebanyakan kita tidak mampu berbuat banyak.
    Entah kapan situasi ini akan berubah. Banyak potensi yg sia-sia di negeri ini. Seperti anak itu, ia potensi untuk membangun bangsa ini bila dididik di jalan yg benar.

    Salam kenal,

  6. Malam dingin ditemani bintang-bintang di luar jendela. Membaca kisah bintang yang jenius di blog ini. Sebuah ketimpangan yang terjadi. Ketika si kaya membuang makanan, tapi lihat si kelas bawah. Mereka harus berpanasan seharian demi makanan yang jauh lebih murah timbang makanan yang dibuang oleh si Kaya.

    Cerita yang mengharukan mbak.

  7. Ilustrasi kehidupan pengamen itu sering sekali saya dengar dan sangat banyak terjadi di kota saya,Mbak. Miris lihatnya, satu sisi….Oknum yang memanfaatkan kepolosan anak demi diri dan golongannya tidaklah lebih berharga dari anak yang tidak tahu apa-apa itu….

  8. jadi ingat tokoh lintang di laskar pelangi, jenius tapi ia tidak seharusnya berada di tempatnya sekarang, hanya lintang lebih beruntung dari pengamen kecil bermata bintang yang kau jumpai itu Lin

  9. Ironis… kita mampunya hanya melihat… seperti menonton drama satu babak… drama tentang si mata bintang… kita hanya duduk di kursi menunggu drama berakhir… tamat… the end… selesai…

  10. Selamat pagi sahabatku.
    Saya berkunjung untuk berkenalan dan silaturahmi serta menyerap ilmu disini.
    Saya juga ingin memperkenalkan blog yang baru soft opening yaitu Pensioner.
    Sebagai newbie mohon masukan,kritik dan saran dari para senior agar blog saya ini menarik dan bermanfaat
    Terima kasih, salam hangat dari Surabaya.

  11. Anak pemulung di dekat kos saya ditanya, “Kenapa nggak mau sekolah?”
    Jawabnya: Udah banyak orang pinter. Semakin pinter malah semakin banyak bohongnya. Saya mau kayak gini aja.
    Hhh… kemana mereka akan dibawa?
    Mana janji akan memelihara anak terlantar?

  12. begitulah potret negara ini. anggota dpr difasilitasi mobil mewah. kmrn dikasih laptop seharga 20 jt, pdhl yg 9 juta jg udh cukup. mereka itu kan palingan nyimpen dokumen, ga butuh laptop canggih2 amat.. buang2 duit rakyat di saat banyak anak2 yg ga bisa sekolah 😐

  13. walaupun sang mata bintang bernyanyi tanpa melodi yang pas namun lantunan lagunya dapat mengusik telinga dan menyentuh hati, andaipun dia tidak mendapatkan status dimata orang lain. Tapi bagi saya, statusnya jauh lebih mulia diatas sana.

  14. kunjugan pertama…
    saya rasa kehidupan seperti itu harus diperhatikan oleh pemerintah….
    jangan sampai generasi muda kita turun ke jalan dan melupakan segala kehidupan tentang pendidikannya…..

Tinggalkan Balasan ke Kakaakin Batalkan balasan